Prabu Anglingdarma adalah nama seorang tokoh legenda dalam tradisi
Jawa, yang dianggap sebagai titisan
Batara Wisnu.
Salah satu keistimewaan tokoh ini adalah kemampuannya untuk mengetahui
bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai
keturunan
Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah
Mahabharata.
Garis silsilah
Anglingdarma merupakan keturunan ketujuh dari
Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah
Mahabharata. Hal ini dapat dimaklumi karena menurut tradisi Jawa, kisah
Mahabharata dianggap benar-benar terjadi di
Pulau Jawa.
[rujukan?]
Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra
Abimanyu. Abimanyu berputra
Parikesit. Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana berputra
Jayabaya. Jayabaya memiliki putri bernama Pramesti, dan dari rahim Pramesti inilah lahir seorang putra bernama Prabu Anglingdarma.
Kelahiran
Semenjak Yudayana putra
Parikesit naik takhta, nama kerajaan diganti dari
Hastina
menjadi Yawastina. Yudayana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada
Gendrayana. Pada suatu hari Gendrayana menghukum adiknya yang bernama
Sudarsana karena kesalahpahaman.
Batara Narada
turun dari kahyangan sebagai utusan dewata untuk mengadili Gendrayana.
Sebagai hukuman, Gendrayana dibuang ke hutan sedangkan Sudarsana
dijadikan raja baru oleh Narada.
Gendrayana membangun kerajaan baru bernama Mamenang. Ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Jayabaya.
Sementara itu, Sudarsana digantikan putranya yang bernama Sariwahana.
Sariwahana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada putranya yang
bernama Astradarma.
Antara Yawastina dan Mamenang terlibat perang saudara berlarut-larut. Atas usaha pertapa kera putih bernama
Hanoman
yang sudah berusia ratusan tahun, kedua negeri pun berdamai, yaitu
melalui perkawinan Astradarma dengan Pramesti, putri Jayabaya.
Pada suatu hari Pramesti mimpi bertemu
Batara Wisnu
yang berkata akan lahir ke dunia melalui rahimnya. Ketika bangun
tiba-tiba perutnya telah mengandung. Astradarma marah menuduh Pramesti
telah berselingkuh. Ia pun mengusir istrinya itu pulang ke Mamenang.
Jayabaya marah melihat keadaan Pramesti yang terlunta-lunta. Ia pun
mengutuk negeri Yawastina tenggelam oleh banjir lumpur. Kutukan tersebut
menjadi kenyataan. Astradarma pun tewas bersama lenyapnya istana
Yawastina.
Setelah kematian suaminya, Pramesti melahirkan seorang putra yang
diberi nama Anglingdarma. Kelahiran bayi titisan Wisnu tersebut
bersamaan dengan wafatnya Jayabaya yang mencapai
moksa. Takhta Mamenang kemudian diwarisi oleh Jaya Amijaya, saudara Pramesti.
Perkawinan pertama
Setelah dewasa, Anglingdarma membawa ibunya pindah ke sebuah negeri
yang dibangunnya, bernama Malawapati. Di sana ia memerintah dengan
bergelar Prabu Anglingdarma, atau Prabu Ajidarma.
Anglingdarma sangat gemar berburu. Pada suatu hari ia menolong
seorang gadis bernama Setyawati yang dikejar harimau. Setyawati lalu
diantarkannya pulang ke rumah ayahnya, seorang pertapa bernama Resi
Maniksutra. Tidak hanya itu, Anglingdarma juga melamar Setyawati sebagai
istrinya.
Kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim telah bersumpah barangsiapa
ingin menikahi adiknya harus dapat mengalahkannya. Maka terjadilah
pertandingan yang dimenangkan oleh Anglingdarma. Sejak saat itu,
Setyawati menjadi permaisuri Anglingdarma sedangkan Batikmadrim diangkat
sebagai
patih di Kerajaan Malawapati.
Pada suatu hari ketika sedang berburu, Anglingdarma memergoki istri
gurunya yang bernama Nagagini sedang berselingkuh dengan seekor ular
tampar. Anglingdarma pun membunuh ular jantan sedangkan Nagagini pulang
dalam keadaan terluka.
Nagagini kemudian menyusun laporan palsu kepada suaminya, yaitu
Nagaraja supaya membalas dendam kepada Anglingdarma. Nagaraja pun
menyusup ke dalam istana Malawapati dan menyaksikan Anglingdarma sedang
membicarakan perselingkuhan Nagagini kepada Setyawati. Nagaraja pun
sadar bahwa istrinya yang salah. Ia pun muncul dan meminta maaf kepada
Anglingdarma.
Nagaraja mengaku ingin mencapai
moksa. Ia kemudian mewariskan ilmu kesaktiannya berupa
Aji Gineng
kepada Anglingdarma. Ilmu tersebut harus dijaga dengan baik dan penuh
rahasia. Setelah mewariskan ilmu tersebut Nagaraja pun wafat.
Sejak mewarisi ilmu baru, Anglingdarma menjadi paham bahasa binatang.
Pernah ia tertawa menyaksikan percakapan sepasang cicak. Hal itu
membuat Setyawati tersinggung. Anglingdarma menolak berterus terang
karena terlanjur berjanji akan merahasiakan
Aji Gineng, membuat
Setyawati bertambah marah. Setyawati pun memilih bunuh diri dalam api
karena merasa dirinya tidak dihargai lagi. Anglingdarma berjanji lebih
baik menemani Setyawati mati, daripada harus membocorkan rahsia ilmunya.
Ketika upacara pembakaran diri digelar, Anglingdarma sempat mendengar
percakapan sepasang kambing. Dari percakapan itu Anglingdarma sadar
kalau keputusannya menemani Setyawati mati adalah keputusan emosional
yang justru merugikan rakyat banyak. Maka, ketika Setyawati terjun ke
dalam kobaran api, Anglingdarma mtidak menyertainya.
Masa hukuman
Perbuatan Anglingdarma yang mengingkari janji sehidup semati dengan
Setyawati membuat dirinya harus menjalani hukuman buang sampai batas
waktu tertentu sebagai penebus dosa. Kerajaan Malawapati pun
dititipkannya kepada Batikmadrim.
Dalam perjalanannya, Anglingdarma bertemu tiga orang putri bernama
Widata, Widati, dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta kepada
Anglingdarma dan menahannya untuk tidak pergi. Anglingdarma menurut
sekaligus curiga karena ketiga putri tersebut suka pergi malam hari
secara diam-diam.
Anglingdarma menyamar sebagai burung gagak untuk menyelidiki kegiatan
rahasia ketiga putri tersebut. Ternyata setiap malam ketiganya berpesta
makan daging manusia. Anglingdarma pun berselisih dengan mereka
mengenai hal itu. Akhirnya ketiga putri mengutuknya menjadi seekor
belibis putih.
Belibis putih tersebut terbang sampai ke wilayah Kerajaan Bojanagara.
Di sana ia dipelihara seorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Pada saat
itu Darmawangsa raja Bojanagara sedang bingung menghadapi pengadilan di
mana seorang wanita bernama Bermani mendapati suaminya yang bernama
Bermana berjumlah dua orang.
Atas petunjuk belibis putih, Jaka Geduk berhasil membongkar Bermana
palsu kembali ke wujud aslinya, yaitu Jin Wiratsangka. Atas
keberhasilannya itu, Jaka Geduk diangkat sebagai hakim negara, sedangkan
belibis putih diminta sebagai peliharaan Ambarawati, putri Darmawangsa.
Kembali ke Malawapati
Anglingdarma yang telah berwujud belibis putih bisa berubah ke wujud
manusia pada malam hari saja. Setiap malam ia menemui Ambarawati dalam
wujud manusia. Mereka akhirnya menikah tanpa izin orang tua. Dari
perkawinan itu Ambarawati pun mengandung.
Darmawangsa heran dan bingung mendapati putrinya mengandung tanpa
suami. Kebetulan saat itu muncul seorang pertapa bernama Resi Yogiswara
yang mengaku siap menemukan ayah dari janin yang dikandung Ambarawati.
Yogiswara kemudian menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati.
Setelah melalui pertarungan seru, belibis putih kembali ke wujud
Anglingdarma, sedangkan Yogiswara berubah menjadi Batikmadrim.
Kedatangan Batikmadrim adalah untuk menjemput Anglingdarma yang sudah
habis masa hukumannya.
Anglingdarma kemudian membawa Ambarawati pindah ke Malawapati. Dari
perkawinan kedua itu lahir seorang putra bernama Anglingkusuma, yang
setelah dewasa menggantikan kakeknya menjadi raja di Kerajaan
Bojanagara. iya pun mempunyai musuh yang bernama durgandini dan
sudawirat
Pada suatu saat kerajaan Angling Dharma berjaya dan mampu menaklukan
musuh-musuhnya, dan saat itulah sudawirat terbuka hatinya untuk mengabdi
kepada Kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Angling Dharma
2- Arya Kenceng adalah seorang
kesatria dari
Majapahit yang turut serta dalam ekspedisi penaklukan
Bali bersama Mahapatih
Gajah Mada. Banyak versi mengenai keberadaan Arya Kenceng, dalam beberapa babad, misalnya
Babad Arya Tabanan,
dinyatakan bahwa Arya Kenceng adalah adik dari Arya Damar, yang lain
mencatat Arya Kenceng identik dengan Arya Damar, dan beberapa naskah
lontar menyatakan beliau adalah anak dari Arya Damar.
Sejarah
Pada tahun Isaka 1203 (1281 M) dari negeri Cina datang dua orang
putri Raja Ming/Miao Li yang dikenal dengan Mauliwarma Dewa keturunan
Thong (Raja Miao Ciang)/Raja Li, Kerajaan Ming artinya
Sinar/Surya,wilayah Cina waktu itu Campa/Melayu, Singapura atau Temasek
hingga laut Cina Selatan (Nan Hay). Belakangan berhasil di satukan
Madjapahit dan Cina di kuasai dinasty Cing/Ming karena Mongol/Khan sudah
runtuh, makanya kita disebut bangsa “Indo-Cina” yang jadi cikal bakal
bangsa Indonesia.jadi orang yang tinggal di daratan Cina hingga ujung
selatan (Melayu) disebut orang Indo-Cina. Daratan Cina ke utara bernama
“Mantjupai”. Madjapahit pun simbolnya Surya/Sinar, sedangkan simbol Raja
adalah Macan putih. Dua Putri Raja Ming/Miao LI tersebut datang lengkap
dengan dayang-dayang, pengawal,para suhu dan lain-lain, kedua putri
tersebut adalah “Dara Jingga” dan adiknya “Dara Petak” (Putih),
keadatangan Putri Cina ini pada zaman Kerajaan Singhasari yaitu pada
masa pemerintahan Sri Kerthanegara/Bathara Siwa tahun isaka 1190-1214
atau tahun (1268-1292 Masehi).
Putri Dara Petak bergelar “Maheswari” diperistri oleh Sri Jayabaya
atau Prabu Brawijaya I/Bhre Wijaya/Raden Wijaya, Raja Madjapahit pertama
yang juga bergelar “Sri Kertha Rajasa Jaya Wisnu Wardana” pada tahun
isaka 1216-1231 atau tahun (1294-1309 Masehi) yang selanjutnya
menurunkan Prethi Santana/keturunan bernama “Kala Gemet” yang menjadi
Raja Madjapahit kedua pada tahun 1309-1328 M, yang bergelar “Jaya
Negara”. Sedangkan Putri
Dara Jingga yang bergelar Indreswari
atau Li Yu Lan atau Sri Tinuhanengpura (yang dituakan di Pura Singosari
dan Madjapahit) diperistri oleh Sri Jayasabha yang bergelar Sri
Wilatikta Brahmaraja I atau Hyang Wisesa. Gelar Li adalah dari Raja Tong
“Li Ti” (Li Wang Ti) yang mengirim Putri Macan Putih ke Kahuripan, Sri
Jayasabha adalah pembesar Singosari dengan pangkat “Maha Menteri”. Putri
Dara Jingga dalam lontar dikenal, yang berbunyi: Dara Jingga arabi Dewa
Sang Bathara Adwaya Brahma yang selanjutnya menurunkan putra sebanyak
enam orang laki-laki yaitu: Sri Cakradara, Arya Dhamar (yang disebut
juga dengan Arya Teja alias Kiyayi Nala atau Adityawarman), Arya
Kenceng, Arya Kuthawaringin, Arya Sentong dan Arya Pudak yang kemudian
menjadi Penguasa/Raja Di Bali
[1].
Dilihat dari silsilah (keturunan), Beliau adalah keturunan dari Sri
Airlangga, pendiri
Kerajaan Kahuripan dan Sri Airlangga adalah putra Sri
Udayana Warmadewa, keturunan dari
Sri Kesari Warmadewa (Sri Wira Dalem Kesari) raja kerajaan Singhamandawa (Singhadwala) Bali.
Datang di Bali
Pada tahun 1342, pasukan perang Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh
Gajah Mada selaku Panglima Perang Tertinggi, dibantu oleh Wakil Panglima Perang yang bernama
Arya Damar, serta beberapa Perwira antara lain,
Arya Kenceng,
Arya Sentong,
Arya Belog,
Arya Kanuruhan,
Arya Bleteng,
Arya Pengalasan dan Adipati Takung, menyerang
Kerajaan Bedulu di Bali. Dalam penyerangannya dibagi:
- Induk pasukan dipimpin oleh Gajah Mada, penyerbuan dan pendaratan dipantai Timur Pulau Bali.
- Arya Damar dengan kekuatan 20.000 orang tentara Palembang mengadakan pendaratan dipantai Utara Pulau Bali.
- Tentara Sunda (Jawa Barat) yang berjumlah 20.000 orang, dipimpin
oleh Adipati Takung dengan dibantu oleh tentara bawahan bernama Lagut,
mengadakan pendaratan dipantai Barat Pulau Bali.
- Pendaratan dipantai Bali Selatan, dilakukan serentak oleh 6 Perwira, masing-masing dibawah pimpinan: Arya Kenceng,
Arya Sentong, Arya Bleteng, Arya Belog, Arya Pengalasan dan Arya
Kanuruhan. Mereka masing-masing memimpin lebih kurang 15.000 orang[2].
Setelah Kerajaan Bedulu ditaklukan, oleh raja Kerajaan Majapahit Ratu
Tribhuwana Tungga Dewi,
Selanjutnya Gajah Mada membagi daerah kekuasaan kepada beberapa Arya,
salah satunya Arya Kenceng diberikan memimpin daerah Tabanan yang
Kerajaannya berada di Pucangan/Buahan
Tabanan, dengan rakyat sebanyak 40.000 orang
[3] dengan batas wilayah sebagai berikut:
- Batas Timur: Sungai Panahan
- Batas Barat: Sungai Sapwan
- Batas Utara: Gunung Batukaru
- Batas Selatan: Daerah Sanda, Kerambitan, Blumbang, Tanggun Titi dan Bajra
Pada tahun 1343 M beliau membuat istana disebuah desa yang bernama
Desa Pucangan atau Buwahan, lengkap dengan Taman Sari di sebelah
Tenggara Istana. Beliau memerintah dengan bijaksana sehingga keadaan
daerah Tabanan menjadi aman sentosa.
Arya Kenceng mengambil istri putri keturunan brahmana yang bertempat
tinggal di Ketepeng Reges yaitu suatu daerah di Pasuruan yang merupakan
wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Arya Kenceng memperistri putri
kedua dari brahmana tersebut sedangkan putri yang sulung diperistri oleh
Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan dari Puri Samprangan dan putri yang
bungsu diperistri oleh Arya Sentong.
Arya Kenceng sebagai kepala pemerintahan di daerah Tabanan bergelar
Nararya Anglurah Tabanan, sangat pandai membawa diri sehingga sangat
disayang oleh kakak iparnya Dalem Samprangan. Dalam mengatur
pemerintahan beliau sangat bijaksana sehingga oleh Dalem Samprangan
beliau diangkat menjadi Menteri Utama. Karena posisi beliau sebagai
Menteri Utama, maka hampir setiap waktu beliau selalu berada disamping
Dalem Samprangan. Arya Kenceng sangat diandalkan untuk memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi oleh Dalem Samprangan, karena jasanya
tersebut maka Dalem Samprangan bermaksud mengadakan pertemuan dengan
semua Arya di Bali. Dalam pertemuan tersebut Dalem Samprangan
menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan tersebut tiada lain untuk
memberikan penghargaan kepada Arya Kenceng atas pengabdiannya selama
ini.
"Wahai dinda Arya Kenceng, demikian besar
kepercayaanku kepadamu, aku sangat yakin akan pengabdianmu yang tulus
dan ikhlas dan sebagai tanda terima kasihku, kini aku sampaikan wasiat
utama kepada dinda dari sekarang sampai seterusnya dari anak cucu sampai
buyut dinda supaya tetap saling cinta mencintai dengan keturunanku juga
sampai anak cucu dan buyut. Dinda saya berikan hak untuk mengatur
tinggi rendahnya kedudukan derajat kebangsawanan (catur jadma), berat
ringannya denda dan hukuman yang harus diberikan pada para durjana.
Dinda juga saya berikan hak untuk mengatur para Arya di Bali, siapapun
tidak boleh menentang perintah dinda dan para Arya harus tunduk pada
perintah dinda. Dalam tatacara pengabenan atau pembakaran jenasah
(atiwatiwa) ada 3 upacara yang utama yaitu Bandhusa, Nagabanda dan wadah
atau Bade bertingkat sebelas. Dinda saya ijinkan menggunakan Bade
bertingkat sebelas. Selain dari pada itu sebanyak banyaknya upacara
adinda berhak memakainya sebab dinda adalah keturunan kesatriya,
bagaikan para dewata dibawah pengaturan Hyang Pramesti Guru. Demikianlah
penghargaan yang kanda berikan kepada adinda karena pengadian dinda
yang tulus sebagai Mentri utama."
Arya Kenceng karena telah lanjut usia, akhirnya beliau wafat dan
dibuatkan upacara pengabenan (palebon) susuai dengan anugrah Dalem
Samprangan yaitu boleh menggunakan bade bertingkat sebelas yang
diwariskan hingga saat ini. Adapun roh sucinya (Sang Hyang Dewa Pitara)
dibuatkan tugu penghormatan (Peliggih) yang disebut "Batur/Batur
Kawitan” dan disungsung oleh keturunan beliau hingga saat ini dan
selanjutnya.
Prabu Brawijaya (lahir: ? - wafat:
1478) atau kadang disebut
Brawijaya V adalah raja terakhir
Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun
1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan
Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah
Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan
Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun
1486 mengaku sebagai penguasa
Majapahit,
Janggala, dan
Kadiri, setelah berhasil menaklukan
Bhre Kertabhumi.
3- prabu brawijaya
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah
Raden Alit.
Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan
kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra
sulungnya
[rujukan?] yang bernama
Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu
Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.
[rujukan?]
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari
Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati
Palembang, Raden Patah bupati
Demak, Batara Katong bupati
Ponorogo, serta
Bondan Kejawan leluhur raja-raja
Kesultanan Mataram.
Sementara itu
Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah
Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar
Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan
Menak Jingga bupati
Blambangan.
Sementara itu pendiri
Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama
Jaka Sesuruh, bukan
Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut
Serat Pranitiradya,
yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga
beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja
Majapahit ialah:
-
- Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
- Prabu Brakumara
- Prabu Brawijaya I
- Ratu Ayu Kencanawungu
- Prabu Brawijaya II
- Prabu Brawijaya III
- Prabu Brawijaya IV
- dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya (bhre
Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan,
dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah
Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan
Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata
Bhra Wijaya.
[rujukan?] Gelar
bhra adalah singkatan dari
bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar
bhre yang banyak dijumpai dalam
Pararaton berasal dari gabungan kata
bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut
Bhatara Wijaya.
Menurut catatan
Tome Pires yang berjudul
Suma Oriental, pada tahun
1513 di
Pulau Jawa ada seorang raja bernama
Batara Vigiaya.
Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat
simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate
Amdura.
Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan
Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.
[rujukan?] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan
Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun
1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa
Majapahit,
Janggala, dan
Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di
Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun
1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan
Sultan Trenggana dari
Kesultanan Demak.
Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih
dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar
demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam
ingatan masyarakat Jawa
[rujukan?]
sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat
sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah
Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa
[rujukan?] berakhir pada tahun
1478.
Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun
tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan
prasasti Jiyu tahun
1486.
Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui
kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari
Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Pararaton hanya menceritakan sejarah
Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun
1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:
- Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada
tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari
istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre
Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang
meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan
Pararaton tersebut terkesan ambigu.
[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah
Bhre Pandansalas ataukah anak-anak
Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer
[rujukan?]
menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka
(1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah
kronik Cina dari
kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama
Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam
Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun
Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik
[rujukan?]
dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah,
Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan
Bhre Kertabhumi relatif singkat.
Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah
kronik Cina yang ditemukan dalam
kuil Sam Po Kong di
Semarang antara lain mengisahkan akhir
Kerajaan Majapahit sampai berdirinya
Kerajaan Pajang.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama
Jin Bun yang dibesarkan oleh
Swan Liong, putra
Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun
1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah
Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari
Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti
Hyang Wisesa alias
Wikramawardhana, atau bisa pula
Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut
Babad Tanah Jawi dan
Serat Kanda,
tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan
bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri
sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre
Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang
selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian
versi babad dan serat.
Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi,
Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian
diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada
tahun
1486
Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun
mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai
bupati baru.
Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan
Prabhu Natha Girindrawardhana alias
Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut
berita Cina
tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar
sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya
adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa runtuhnya
Kerajaan Majapahit yang berpusat di
Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun
1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:
- Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali.
Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini
uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer
dalam masyarakat Jawa.
- Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya
alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti
Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga
Girindrawardhana melawan Majapahit.
- Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton
tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja
terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga
terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka
(1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara.
Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan
kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang
Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh
Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal
dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di
daerah
Jawa Timur.
Hampir setiap kota di
Pulau Jawa,
khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama
Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di
Kota Malang, yaitu
Universitas Brawijaya. Juga terdapat
Stadion Brawijaya dan
Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah
Jawa Timur dikenal dengan nama
Kodam V/Brawijaya.
4- kerajaan mataram
-
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa : Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede , Kesultanan Mataram , 1593 - ...
16 KB (1.961 kata) - 19 Maret 2013 08.49
-
Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (lahir: Kotagede , ? - Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601 -1613 . ...
6 KB (763 kata) - 23 April 2010 03.50
-
disingkat Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. ... Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram. ...
8 KB (1.038 kata) - 28 Desember 2012 09.11
-
Amangkurat adalah sebuah gelar yang diperoleh Raden Mas Sayidin yang setelah dewasa bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram . ...
732 B (85 kata) - 1 Mei 2009 03.02
-
Pedukuhan di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul , tempat bersejarah sebagai lokasi wafatnya Prabu Hanyokrowati , sultan kedua Mataram , dan ...
254 B (25 kata) - 9 Juni 2012 08.59
-
Makam Imogiri dibangun pada tahun 1632 oleh Sultan Mataram III Prabu Hanyokrokusumo yang merupakan keturunan dari Panembahan Senopati ...
15 KB (1.844 kata) - 6 Januari 2013 21.47
-
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada ... Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. ...
15 KB (1.748 kata) - 6 Februari 2013 14.38
-
senapati juga dipakai secara turun-temurun oleh para pengganti Sutawijaya seperti Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Senapati ing Alaga Mataram . ...
911 B (105 kata) - 14 November 2010 11.09
-
Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan Agung Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ...
2 KB (251 kata) - 17 November 2012 01.19
-
Mataram , Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan- ... Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada ...
26 KB (3.224 kata) - 19 Januari 2013 19.28
-
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Paku Buwana Senopati Ing- ... Surakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam di Surakarta . ...
11 KB (1.051 kata) - 14 Maret 2013 06.19
-
Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu ... Bupati Galuh yang menandai penguasaan Mataram atas Galuh, sebagai bupati ...
72 KB (9.682 kata) - 12 Maret 2013 03.35
-
pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah ... Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro ...
39 KB (5.577 kata) - 17 Oktober 2012 16.54
-
Kota Sumedang saat ini) dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun (1580 -1608 ). Takluk ke Mataram: Sepeninggal Prabu Geusan Ulun, kekuasaan Sumedang ...
14 KB (1.774 kata) - 16 Januari 2013 16.51
-
Raja Mataram , prabu Amangkurat III naik takhta setelah wafat ayahnya, Amangkurat II . Kelahiran : Kematian : Raja Mataram , prabu Amangkurat ...
2 KB (53 kata) - 15 Maret 2013 06.48
-
bahkan digunakan sebagai legitimasi kekuasaan raja-raja pewaris Mataram . ... Moksanya Prabu Siliwangi dan pengikut-pengikutnya di Gunung Gede ...
2 KB (194 kata) - 21 November 2012 12.18
-
Yang jelas, Sultan Agung dari Mataram (bertahta 1613 -1646 ), yang ... Badung Ditunjuklah keturunan Prabu Tawang Alun untuk memegang ...
11 KB (1.529 kata) - 21 Juni 2012 11.28
-
Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu ... halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram. ...
26 KB (3.458 kata) - 18 Februari 2013 01.41
-
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang ... Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya ...
45 KB (6.161 kata) - 30 September 2012 02.17
-
Raja-Raja Sunda yang menjadi Raja di Mataram dan Majapahit ... Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdarma, raja ke 2 Kerajaan Sunda-Galuh(723 ...
18 KB (2.353 kata) - 11 Maret 2013 10.59
5- Sri Baduga Maharaja
(Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (
1482-
1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam
prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta
Kerajaan Galuh dari ayahnya (
Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta
Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar
Sri Baduga Maharaja Ratu Haji
di kerajaan Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi
dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun,
Jawa Barat
kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat
dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga
kerajaan dapat dilihat pada
Pindahnya Ratu Pajajaran.
Prabu Siliwangi
Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama
Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam
Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun
1518
ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai
versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa
itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang
sama besarnya dengan
Wastu Kancana
(kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja
yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi.
Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
- "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira
wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu
ngaran swaraga nira".
- Indonesia:
Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama
pribadinya.
Biografi
Masa muda
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan
Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan
Subanglarang
(istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal,
orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu
Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2
mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti
Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai
berikut (artinya saja):
- "Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
- Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
- Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya sampai kepada
beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang
lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada)
keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa
Barat. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di
sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu
Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti
yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta,
penanggung jawab penyusunan
Sejarah Nusantara,
menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang
gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga
melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu
Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga
menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu
Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala
Wastu Kancana itu adalah "
seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa
Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya
menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang
penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I
Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan
Susuktunggal) hanya bergelar
Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga
itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh
Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam
pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian
ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak
sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Kebijakan dalam kehidupan sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi
dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu
Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia
masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada
salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai
berikut (artinya saja):
- Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu
Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada
Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di
Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
- Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut
bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan
Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak,
yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga
kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1
gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra,
"upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang
Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka =
10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai
upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan
kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil
lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi,
padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen
dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak
raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul
seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai
berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena
bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut
"dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang
antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare
dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan
"calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti).
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya :
menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di
ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di
peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk
kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin
calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman
kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini
memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten"
(bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah
menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas
Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran
air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa
imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan
makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa
sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan
berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk
mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa
"puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau
dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada
kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat
kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum
atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong.
Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk
tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal
pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung
merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga
penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya
yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan,
desa bebas pajak.
Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
- "Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh
alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta
ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
- (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan
musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di
utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak
Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama
lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan
Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti
yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif
Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh
uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di
Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima
(sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan
Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada
kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan
dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di
sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak
yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya
menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar
segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan
itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa
Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari
mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki
Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi
Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena
Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri
Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh
penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa
pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada
pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang,
membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran
adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki
kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak
40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah
Kapal Jung
150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan
antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000
ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan
dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat
pasangan yang dijodohkan, yaitu :
- Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
- Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
- Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
- Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan
Pangeran Sabrang Lor alias
Yunus Abdul Kadir
dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima
angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di
Cirebon.
Persekutuan
Cirebon-
Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima
Portugis Alfonso d'Albuquerque di
Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau
Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap
menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh
karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang
ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri
Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab,
bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah
seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana,
Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama
ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka
masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman
kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan
zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil;
mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke
kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar
(1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya
cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun
Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan
huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan
masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila
hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja
penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga
Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39
tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang
Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di
Rancamaya.